Menukil catatan dalam Management Skills of Alexander the Great yang ditulis oleh praktisi strategi manajemen bisnis, Yodhia Antariksa — Kegemilangan Alexander the Great dalam memimpin 50.000 prajurit perkasa telah membawanya sebagai salah satu sosok penting dalam sejarah peradaban manusia. Namun sayang, kisah epic Alexander the Great yang dramatis harus terhenti pada sebuah titik jenuh tanpa keberlanjutan. Setelah bertahun-tahun sukses menginvasi serta menguasai lebih dari separuh dunia, ribuan pasukan Alexander terhenti di India. Tiba pada titik ini, gairah seluruh prajurit memudar digerus oleh rasa letih, kejenuhan luar biasa, dan rasa rindu untuk pulang. Perlahan sense of purpose mereka hilang. Menguap entah ke mana. “Untuk apa kita terus melakukannya? Apa lagi yang harus kita tuju setelah kita menaklukkan separuh dunia?”, keluh para prajurit. Alexander hanya bisa terdiam. Ia gagal menambal moral dan spirit ribuan prajuritnya yang telah retak. Semuanya harus terhenti bukan oleh kekuatan lawan, namun oleh lenyapnya sense of purpose dalam diri mereka.
Memetik kisah dari Alexander the Great, maka sehebat apapun target yang bisa dan pernah kita capai, sesungguhnya itu hanyalah pijakan yang bersifat glorifikasi. Hanya angka-angka dalam grafik dan nominal saja yang bisa disuguhkan, bukan substansi tujuan. Tanpa prinsip keberlanjutan yang kuat, kita barangkali juga akan berada dalam jurang kejenuhan. Bagi kita pelaku usaha, brand bukanlah sekadar kendaraan untuk mengejar target suksesnya berbisnis. Brand yang kita punya lebih sebagai perangkat navigasi sekaligus pengingat agar kita tetap konsisten, on the track pada tujuan. Brand yang kita bangun sesungguhnya adalah “rumah” tempat di mana kita bisa merasa lebih autentik. Brand yang kita besarkan adalah cerminan perjalanan batin kita menuju pemahaman dan identifikasi tujuan serta makna hidup. Mungkin itu terdengar klise. Tapi coba kita pahami. Analogi sederhananya mungkin kurang lebih begini; dalam melakoni sebuah perjalanan kita kerap dihadapkan oleh persimpangan atau percabangan jalan. Pilihannya adalah jalan terus atau balik kanan. Jika kita memutuskan untuk jalan terus dengan memilih salah satu cabang jalan, maka kita butuh keterbukaan terhadap pengalaman baru sekaligus bersiap untuk segala bentuk ketidakpastian. Anggaplah kita punya kapasitas mumpuni dan perbekalan (modal) yang banyak, sehingga kita merasa tidak punya alasan untuk takut menerabas semua rintangan pada jalan yang kita pilih. Semak belukar kita tebas, sungai deras kita seberangi, dan sebagainya, hingga kita pun merasa bahwa kita sudah menorehkan kesuksesan karena telah berhasil melampaui sejumlah target. Merayakan keberhasilan memang tidak salah, dan siapa pun yang telah berhasil berjuang berhak atas self reward-nya. Namun sampai sini, masihkah kita on the track pada tujuan brand kita? Lalu, masihkan kita memegang teguh substansi tujuan hidup kita? Itu pertanyaannya. Jika brand yang kita punya semata hanya menjadi instrumen untuk mengejar target suksesnya berbisnis, jangan-jangan kita sebenarnya cuma akan menjadi petarung yang sekadar mendambakan sabuk kemenangan saja. Sekali berarti, sudah itu mati. Tanpa diikuti nilai-nilai keberlanjutan.
Masih ingat film “The Pursuit of Happyness” (mengejar kebahagiaan)? Sebuah film tahun 2006 yang mengangkat kisah nyata perjuangan Chris Gardner seorang salesman miskin yang sukses menjadi pialang saham ternama di San Francisco pada era 1980-an. Film yang tokoh utamanya diperankan oleh Will Smith ini menawarkan banyak pesan moral tentang bagaimana kebahagiaan itu harus diperjuangkan. Selain sarat dengan pesan moral, film ini juga mengandung makna filosofis. Dari judul filmnya saja kita bisa lihat ada makna yang tersembunyi begitu dalam di situ. Kata yang seharusnya “happ(i)ness” sengaja dibuat misspelling menjadi “happ(y)ness”. Hal ini tentu bukan tanpa maksud. Penulis skenario Steven Conrad ingin menyampaikan; “It is wrong if we interpret money as a source of happiness. But we should think about how we can get happiness as the goal.” (salah jika kita mengartikan uang sebagai sumber kebahagiaan. Tetapi seharusnya kita berpikir tentang bagaimana cara kita mendapatkan kebahagiaan sebagai tujuan). Itu filosofi pertama. Filosofi kedua adalah, “Often we have to fight for a goal. Whatever, A to Z we have done. But actually we only need to try to get to Y. Because after that, Z is happiness.” (Seringkali kita harus berjuang demi sebuah tujuan. Apapun, A sampai Z sudah kita lakukan. Tapi sesungguhnya kita hanya perlu berusaha sampai pada Y saja. Karena setelah itu, Z adalah kebahagiaan). Bukan main. Jadi artinya, kebahagiaan sebagai sebuah tujuan bukan hal yang datang begitu saja. Kita sebagai pelaku usaha harus bisa bertanggung jawab pada pilihan, berusaha bangkit dari kegagalan, kuat menghadapi tekanan dan bijak merawat sense of purpose.
Dalam bukunya yang berjudul Spiritual Entrepreneur Branding, Bethany McCamish — praktisi brand strategi — mengatakan bahwa apabila benar-benar dirawat, maka brand purpose bisa menjadi kredo atau manifestasi yang akan menavigasi intuisi kita untuk mencapai tujuan yang sebenarnya dari apa yang kita cita-citakan, baik itu bagi brand yang kita bangun dan juga tujuan hidup kita. Di sini tentu, akhirnya bicara brand purpose bukan semata soal visi dan misi. Brand purpose itu bersifat sinoptik yang lahir dari rangkaian berpikir, penggalian hasrat, ide, passion, pengalaman, bahkan kegelisahan. Sementara visi dan misi hanya bersifat analitik sebagai upaya untuk mengkomunikasikan brand purpose. Ibarat anatomi, brand purpose adalah syaraf kesadaran yang halus namun mampu menggerakkan seluruh bagian anggota tubuh untuk bergerak mengikuti spirit, hati dan pikiran.
Dalam konteks entrepreneurial mentality, kita memang tidak boleh takluk begitu saja pada jalan yang terjal, panjang dan berliku — jadikan rintangan sebagai tantangan, dan rengkuh itu sebagai peluang. Namun, kerasnya perjuangan kadang sering membuat kita lupa bahwa daya tahan juga ada kadaluwarsanya. Memang ada kalanya perjuangan hanya akan membuahkan rasa lelah. Bila itu terjadi, jangan enggan untuk kembali menengok lebih dalam pada brand yang sudah kita bangun sebagai rumah bagi hati, jiwa, dan pikiran kita, agar kita tidak kehilangan sense of purpose.
Brand tidak berjalan dalam ruang hampa. Tidak bisa melenggang bebas semaunya. Brand akan berjalan seiring dengan perubahan dan segala bentuk kebaruan. Strategi, metode, dan pola komunikasi brand juga akan ikut berkembang. Kemampuan beradaptasi sambil mempertahankan keautektikan adalah kunci untuk tetap menjadi yang terdepan dalam dunia bisnis yang akan terus berubah. Merawat brand purpose di tengah segala disrupsi memang menantang. Tak ada salahnya jika kita harus mendefinisikan ulang brand purpose kita untuk tujuan memberikan makna dan orentasi brand kita menjadi lebih kuat, beretika, dan bahagia.
Jadi, variabel kebahagiaan seperti apa yang hendak kita tarik ke dalam batin untuk kemudian kita refleksikan sebagai tujuan hidup dan brand kita? Pilihannya ada di diri kita masing-masing.
Merdeka !
***